Hari-hari menjelang Idul Adha, jalan-jalan dipenuhi bau yang khas. Bau KAMBING !!!
Ada kenangan teramat kuat di diri saya sehubungan dengan itu. Saya pernah menggembala kambing dan sapi untuk dijual menjelang Idul Adha tahun 1996 dulu. Itu ketika saya menjadi santri di Pesantren Hidayatullah Surabaya. Ada 250 kambing + 19 sapi pernah selama seminggu lebih saya pelihara. Mbuat kandang, ndatangkan dari daerah, sortir sesuai besarnya, nyrriin makan rumput, njaga agar tidak kena penyakit mata, njaga juga pada waktu malam agar tidak hilang atau dicuri. Ternyata kami pernah kehilangan 3 kambing... raib saat malam, ntah dicuri ntah kesasar nda bisa balik. Kami dimarahi.......
Bergelut tiap hari dengan kawanan itu menjadikan ketularan baunya. Teman-teman santri lain kalo saya datang balik ke pesantren ngikuti sholat jamaah pada tutup hidung lalu menjauh sambil teriaak mbeeek...mbeek, ngeledekin gurau sekaligus emang sungguh nggak tahan dengan bau saya... seminggu itu susah banget cari teman ngobrol... nda ada yang tahan lama-lama. Saya bener-bener terasing, ngenes...
Menggembala kambing ternyata menyimpan ujian mental yang nda main-main.
Pertama yang diuji adalah kesombongan kita. Apalagi posisi saya saat itu sudah punya titel dan banyak yang mau menrima saya kerja. Banyak optik yang pasti mau menerima saya, karena saya bagian dari hanya 2000-an Refraksionis Optisien ( kayak Apoteker tapi untuk di optik ) diseluruh Indonesia yang punya lebih dari 6.000 optik. Justru pada saat itu saya pagi, siang, sore NGARIT ( cari rumput ) di kawasan ITS Surabaya. Pagi habis subuh harus segera cari rumput untuk sarapan mereka. Balik baru sekitar jam 8. Sarapan. Sholat dhuha. Berangkat ngarit lagi untuk makan siang mereka ( kambing ). Makan siang di drop sekalian teman ngambil rumput hasil aritan dimasukkan mobil bakter. Balik ke pesantren menjelang dhuhur untuk sholat jamaah. Jalan lagi untuk ngarit makan malam mereka.
Kadang saking capeknya ketiduran di rumput-rumput. Tidur rasanya enak banget, begitu bebas, dimana saja bisa tidur. Diseberang jalan, di lapangan, di bawah pohon, di sebelah selokan. Tidak takut ada yang hilang dicuri karena emang tidak punya apa-apa. Tidak takut malu toh tidak ada status yang harus saya pertahankan disitu. Tak ada sesuatu yang bisa saya sombongkan ternyata membawa pengaruh positif buat saya kala itu. Saya bisa total dengan apa yang saya kerjakan. NGARIT!!
Eh tapi walau kerja rendahan saya masih kaya pemaknaan lho di dalam diri... emang saya cuma ngarit sih, tapi ini untuk kambing yang nanti saya mau jual dan hasilnya untuk pesantren yang ngidupin sekian puluh anak yatim yang makan dan pendidikannya terpaut didalamnya. Kayaknya sih latar belakang nya bisa sangat filosofis tapi sumpah pada saat itu saya masih inget bahwa pikiran saya pendek.... "pokok-e saya NGARIT dan harus segera dapat banyak" karena kambingnya udah wak wek wak wek.
Tidak sombong bikin kita bisa konsen dengan pekerjaan kita. Itu semacam profesional kali ya? Itu pelajaran pertama yang saya dapat dari menggembala kambing.
Kedua tentang sabar. Beribadah itu butuh sabar. Bayangkan bahwa setiap waktu saya kotor kesemua-muanya. Ya baju ya badan. Padahal saya dituntut untuk tetap hadir dalam sholat jamaah 5 waktu dan sholat sunnah yang dibiasakan di pesantren. Berarti saya harus ganti baju dan mandi mau sholat dhuha. Ganti baju lagi untuk sholat dhuhur, begitu juga sholat ashar, maghrib, isya, bahkan sholat lail.
Mungkin banyak lagi kenangan bermakna dari menggembala ini, tapi saya juga bingung, apa lagi yang menjadi bagian warna hidup saya dan membekas hingga sekarang. Tapi ada hal yang saya ingat - sangat saya ingat - dikutip dari komik Kungfu Boy no 17 adegan ketika Chinmi berguru kepada Dokter Leo. Begini kutipannya :
Dokter Loe : kamu memang pendekar yang memiliki bakat besar. Tapi kalau kesombongan yang ada di dirimu tak dihapus, kamu tak akan bisa mencapai kemajuan. KERENDAHAN HATI UNTUK MEMULAI DARI AWAL WALAU SETINGGI APAPUN KEMAMPUANNYA, ADALAH PENTING BAGI MANUSIA.
Ternyata saya melewati tahap-tahap ketika saya harus memulai dari awal lagi, bertahun tahun kemudian. Tahun ini, tahun 2008, ketika saya ada dipuncak karir, diposisi yang banyak diinginkan sekian banyak rekan seprofesi, saya memilih resign dan memulai semuanya dari awal. Merintis usaha yang justru baru buat saya. Bisnis dagang obat H E R B A L . Bukan optik, bukan kacamata, profesi dimana saya disekolahkan untuk keahlian itu dan 10 tahun bekerja di dalamnya.
Dalam titik-titik terendah perasaan dalam menjalani perintisan bisnis, saat-saat saya menggembala kambing dulu itu menjadikan saya bisa kuat, bertahan melewati hari demi hari. Bahkan optimis saya meluap. Saya sudah pernah melewati hari-hari di titik terendah, toh saya tidak mati dan bisa ada hingga sekarang.
Sekarang saya punya modal keyakinan yang lebih baik, pengalaman yang lebih matang, reputasi yang bisa jadi modal orang percaya pada saya, pasti saya bisa melewati segala rintangan dan menemukan pengembangan bisnis ini dan badai pasti berlalu... kok kayak judul lagu.
Dan sepertinya Tuhan tidak pernah lama meninggalkan tiap hambanya yang serius meminta. Niat saya awalnya adalah menjadikan toko herbal saya menjadi syariah. Maka orang akan percaya pada bisnis ini dan mau berinvestasi untuk pengembangannya. Tapi hati orang ada di tangan Tuhan yang berkuasa membolakbalikkannya. Bagaimana kalo justru orang duluan percaya nda usah nunggu sistemnya jadi syariah? Bagaimana kalo peluang menjadi besar dan berkembang itu tanpa perlu syarat logika investasi layaknya?
Tunggu cerita saya berikutnya... semoga menjadi pewarta tentang kebesaranNya yang bertaburan disepanjang sejarah hidup kita masing-masing.
Awalnya adalah KERENDAHAN HATI UNTUK MEMULAI DARI AWAL WALAU SETINGGI APAPUN KEMAMPUAN KITA.
Kerendahan Hati Untuk Memulai Dari Awal
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar