Rute Sang NABI



Saya Heru. Umur 36 tahun. Di usia sekian, terasa ada panggilan untuk sesuatu yang lebih ruhani. Sebuah kebutuhan untuk sebuah jawaban besar tentang kehidupan. Sebuah dorongan untuk merajut jam demi jam dalam kesyikan munajat. Rasanya butuh rajutan waktu diisi dengan sesuatu yang lebih ruhani, mengurangi kesibukan dalam urusan perut, cinta dan nama. Tapi kok makin hari masih saja gelisah. Belum juga bisa khusu. Atau bisa asyik masyuk dalam munajat. Tarikan dunia rasanya masih kuat menjerat sukma. Hitungan untung rugi tanpa henti menari nari di hati. Seribu keinginan masih panjang terdaftar di impian.

Membanding bandingkan, rasanya jauh sekali ya dengan teladan manusia terbaik, yang mana kita bercermin dan mengidamkan menjadi mirip dengannya. Yaitu Sang Nabi. Manusia terbaik.

Kenapa bisa. Kenapa beda dengan saya ya? Apanya yang beda? Atau gimana supaya mencapai ke tahap itu ya?
Kalau dalam umur yang sama, secara fitrah memang manusia akan sampai masanya ketika ada keinginan untuk me-ruhani, tetapi bedanya kalo Nabi keinginan itu bisa diwujudkan, tetapi saya rasanya masih terbelenggu dengan PR-PR yang belum tuntas dari dunia.

Di umur yang sama, 35-an bahkan mungkin lebih muda, sang Nabi sudah mengalihkan perhatiannya dari dunia. Sang Nabi mulai sering menyepi dan bermunajat. Bahkan kadang mengkhususkan pergi ke gua hiro. Memasuki tahapan lebih ruhani. Nabi sudah bisa melepaskan diri dari keinginan terhadap kepemilikan dunia. Perhatiannya sudah berhasil dialihkan ke pencarian yang lebih tinggi, bukan lagi merasakan nikmat ini itu dari harta, keluarga atau nama… tapi tentang mencari nikmat yang lebih tinggi. Nikmatnya hati yang sudah berdamai dengan dirinya sendiri. Nikmat terbukanya pengertian tentang siapa kita, di tengah luasnya alam semesta, di tengah hamparan bumi nan megah.

Lalu timbul pikiran ini. Seseorang sampai ke satu titik tentu sesudah melalui titik titik sebelumnya. Jarang ada yang namanya lompatan. Jarang ada yang namanya keajaiban sampai dengan tiba-tiba. Ibaratnya, kalau ingin sampai ke Bali, jika startnya Jakarta dan melalui jalan darat, orang harus melewati Jawa Tengah lalu Jawa Timur, menyeberang di Banyuwangi, baru sampai di Bali. Boleh boleh saja kemungkinan ada kekhususan sehingga tidak perlu ikuti rute alamiah tapi sampai juga ke etape yang dimaksud. Tapi kita ini kan golongan manusia kebanyakan. Dan Nabi dimaksudkan dijadikan contoh karena perjalanan Nabilah jalan manusia apa adanya.

Tentu demikian juga Nabi. Nabi sampai ke ketenangan hati dan pertemuan dengan petunjuk Ilahi, tentu ada jalannya, tentu ada suluknya, tentu ada rutenya. Maka kalau kita ingin sampai ke maqam Nabi - yaitu ketika beliau mendapat petunjukNya - menurut saya kuncinya adalah mengikuti dulu tahapan tahapan yang juga dilalui Nabi sepanjang hidupnya.

Kita tentu ingat tahapan hidup Nabi. Sejak kecil Nabi sudah mandiri secara keuangan. Dengan menggembala Nabi mendapat upah. Berikutnya ketika remaja, Nabi sudah merasakan wawasan internasional, yaitu ketika diajak kabilah-kabilah dagang pergi ke negeri negeri tetangga. Masa pemuda dan dewasa, Nabi meneruskan profesinya sebagai pedagang. Menjaganya untuk tidak bergantung pada sesama manusia. Dan Nabi sudah mencapai ketinggian profesionalismenya, sehingga banyak orang percaya dan mau bekerjasama dengannya. Dari perdagangannya, Nabi sudah mencapai kemapanan finansial sejak masa muda. Terbukti ketika menikah dengan Khadijah, Nabi mampu memberi mas kawin 400 ekor unta. Itu mas kawin ukuran seorang konglomerat. Sesudah menikah, Nabi memasuki tahap baru, tahap ketika namanya sangat dihormati sebagai tokoh masyarakat. Sehingga masyarakat pun rela ketika beliau diangkat menjadi hakim dari pertengkaran para kabilah ketika ada perselisihan siapa berhak meletakkan Hajar Aswad pasca banjir di Mekah.

Saya rasa itulah kenapa Nabi bisa dengan rela dan dengan segala kesadarannya mendaki tahap selanjutnya, tahap pengisian ruhani. Karena Nabi SUDAH pernah merasakan tahapan ketika Ilmu dunia sudah dikuasai, harta sudah dimiliki, nama pun sudah dinikmati… sudah cukup pengalaman keduniaan baik secara fisik maupun psikis.

Artinya kalau saya ingin sampai ke dataran kekhusu'an, tahapan ketenangan ruhani, tahapan ketika hati ini berdamai dengan diri, saya harus pernah mengalami kemapanan finansial, juga nama baik dimata masarakat. Di tengahnya ada menikah dan memiliki berkeluarga yang bahagia. Duh PR-nya banyak banget ya.

Alhamdulillah saya sudah memutuskan untuk berdagang dan tidak lagi menjadi pegawai. Alhamdulillah saya juga sudah menikah. Jadi Prnya tinggal memperdalam ilmu dan reputasi sehingga jadi profesional, lalu menata keluarga agar mencapai tahapan keluarga bahagia, lalu kemapanan finansial, lalu aktif di aktivitas kemasyarakatan. Eeeee… malah banyakan tahap yang belum daripada yang sudah ya… huhuhu.

Untuk ukuran usia yang sudah 36 tahun, saya tertinggal jauh dengan tahapan usia dan pencapaian yang dicontohkan Nabi. Umur segini Nabi sudah mulai bergua Hiro, saya masih tahapan start up dalam bisnis, masih mencari kemapanan finansial.

Artinya… artinya ya kejar saja… nda usah menyesali dan nda usah ina inu… kejar saja… jalani saja… kalaulah kita tidak sampai ke tujuan yang kita mau setidaknya kita sadari jalan yang sedang kita tempuh inilah yang menyampaikan kita ke ujung yang benar. Tidak masalah kalau kita sudah is dead di tengah jalan… asal arah hadapnya sudah benar… begitukah?

Poin lain :
Untuk mencapai kedewasaan dan kematangan lebih singkat, ternyata Nabi ngasih contohnya dengan jalan berprofesi sebagai pedagang lho...

0 komentar: